Yudistira
युधिष्ठिर
|
|
Prabu
Yudistira, sebagai tokoh wayang Jawa
|
|
Tokoh dalam
mitologi Hindu
Arti nama
|
|
Nama:
|
Yudistira
|
Nama lain:
|
Bharata; Ajatasatru;
Dharmaraja; Samiaji; Puntadewa; Dharmawangsa; Dharmaputra; Dharmasuta; Dwijakangka, dan lain-lain |
Aksara Dewanagari:
|
युधिष्ठिर
|
Ejaan Sanskerta:
|
Yudhiṣṭhira
|
Asal:
|
|
Senjata:
|
Tombak
|
Pasangan:
|
Dropadi, Dewika
|
Yudhistira (Sanskerta:
युधिष्ठिर; Yudhiṣṭhira) alias Dharmawangsa,
adalah salah satu tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata.
Ia merupakan seorang raja yang memerintah kerajaan
Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura.
Ia merupakan yang tertua di antara lima Pandawa, atau
para putera Pandu. Dalam
tradisi pewayangan,
Yudistira diberi gelar "Prabu" dan memiliki julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan nama Kerajaan Amarta.
Sifat dan kesaktian
|
Para Raja
Hastinapura
Mahabharata
|
• Pratisrawas
|
• Pratipa
|
• Santanu
|
• Pandu
|
• Yudistira
|
• Satanika
|
• Aswamedadata
|
Sifat-sifat
Yudistira tercermin dalam nama-nama julukannya, sebagaimana telah disebutkan di
atas. Sifatnya yang paling menonjol adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap
ajaran agama,
penuh percaya diri, dan berani berspekulasi. Kesaktian Yudistira dalam Mahabharata
terutama dalam hal memainkan senjata tombak. Sementara itu, versi pewayangan Jawa lebih menekankan
pada kesaktian batin, misalnya ia pernah dikisahkan menjinakkan hewan-hewan
buas di hutan Wanamarta dengan hanya meraba kepala mereka.
Yudistira dalam pewayangan beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada, Tunggulnaga, dan Robyong Mustikawarih. Kalimasada berupa kitab, sedangkan Tunggulnaga berupa payung. Keduanya menjadi pusaka utama kerajaan Amarta. Sementara itu, Robyong Mustikawarih berwujud kalung yang terdapat di dalam kulit Yudistira. Pusaka ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada zaman pemerintahan Pandu. Apabila kesabaran Yudistira sampai pada batasnya, ia pun meraba kalung tersebut dan seketika itu pula ia pun berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.
Kelahiran
Yudistira adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti. Kitab Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud sepasang rusa. Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan tahta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya.
Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putera darinya tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.
Versi pewayangan Jawa
Yudistira dalam pewayangan beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada, Tunggulnaga, dan Robyong Mustikawarih. Kalimasada berupa kitab, sedangkan Tunggulnaga berupa payung. Keduanya menjadi pusaka utama kerajaan Amarta. Sementara itu, Robyong Mustikawarih berwujud kalung yang terdapat di dalam kulit Yudistira. Pusaka ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada zaman pemerintahan Pandu. Apabila kesabaran Yudistira sampai pada batasnya, ia pun meraba kalung tersebut dan seketika itu pula ia pun berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.
Kelahiran
Yudistira adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti. Kitab Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud sepasang rusa. Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan tahta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya.
Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putera darinya tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.
Versi pewayangan Jawa
Kisah dalam pewayangan Jawa agak berbeda.
Menurut versi ini, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura.
Kedatangan Bhatara
Dharma hanya
sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan
dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam
pewayangan Jawa, nama Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira
baru digunakan setelah ia dewasa dan menjadi raja. Versi ini melukiskan
Puntadewa sebagai seorang manusia berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa
ia adalah sosok berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran.
Masa kecil dan pendidikan
Yudistira
dan keempat adiknya, yaitu Bima (Bimasena), Arjuna, Nakula, dan Sadewa kembali ke Hastinapura
setelah ayah mereka (Pandu)
meninggal dunia. Adapun kelima putera Pandu itu terkenal dengan sebutan para Pandawa, yang
semua lahir melalui mantra Adityahredaya. Kedatangan para Pandawa
membuat sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin Duryodana
merasa cemas. Putera-putera Dretarastra itu takut kalau Pandawa sampai berkuasa di
kerajaan Kuru. Dengan berbagai cara mereka berusaha menyingkirkan kelima
Pandawa, terutama Bima yang dianggap paling kuat. Di lain pihak, Yudistira
selalu berusaha untuk menyabarkan Bima supaya tidak membalas perbuatan para
Korawa.
Pandawa dan
Korawa kemudian mempelajari ilmu agama,
hukum, dan tata negara kepada Resi Krepa. Dalam
pendidikan tersebut, Yudistira tampil sebagai murid yang paling pandai. Krepa
sangat mendukung apabila tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandawa tertua
itu. Setelah itu, Pandawa dan Korawa berguru ilmu perang kepada Resi Drona. Dalam
pendidikan kedua ini, Arjuna tampil sebagai murid yang paling pandai, terutama dalam
ilmu memanah.
Sementara itu, Yudistira sendiri lebih terampil dalam menggunakan senjata tombak.
Konflik memperebutkan kerajaan
Selama Pandu hidup di hutan
sampai akhirnya meninggal dunia, tahta Hastinapura
untuk sementara dipegang oleh kakaknya, yaitu Dretarastra,
ayah para Korawa.
Ketika Yudistira menginjak usia dewasa, sudah tiba saatnya bagi Dretarastra
untuk menyerahkan tahta kepada Yudhisthira, selaku putera sulung Pandu.
Sementara itu putera sulung Dretarastra, yaitu Duryodana
berusaha keras merebut tahta dan menyingkirkan Pandawa. Dengan
bantuan pamannya dari pihak ibu, yaitu Sangkuni,
Duryodana pura-pura menjamu kelima sepupunya itu dalam sebuah gedung di
Waranawata, dimana gedung itu terbuat dari bahan yang mudah terbakar.
Ketika malam
tiba, para Korawa
membakar gedung tempat para Pandawa dan Kunti, ibu mereka, tidur. Namun, Yudistira sudah mempersiapkan
diri karena rencana pembunuhan itu telah terdengar oleh pamannya, yaitu Widura adik Pandu.
Akibatnya, kelima Pandawa dan Kunti berhasil lolos dari maut. Pandawa dan Kunti
kemudian menjalani berbagai pengalaman sulit.
Pernikahan dengan Dropadi
Setelah
lolos dari jebakan maut Korawa, para Pandawa dan Kunti pergi melintasi kota Ekachakra,
lalu tinggal sementara di kerajaan
Panchala. Arjuna
berhasil memenangkan sayembara di kerajaan tersebut dan memperoleh seorang
puteri cantik yang bernama Dropadi. Tanpa sengaja Kunti memerintahkan agar Dropadi
dibagi lima. Akibatnya, Dropadi pun menjadi istri kelima Pandawa.
Dari
perkawinan dengan Yudistira, Dropadi melahirkan Pratiwindya, dari Bima lahir Sutasoma, dari Arjuna lahir
Srutasena, dari Nakula
lahir Satanika, dan dari Sadewa lahir Srutakirti.
Versi Jawa menyebut Dropadi
dengan nama "Drupadi". Menurut pewayangan Jawa, setelah memenangkan
sayembara, Arjuna menyerahkan putri itu kepada Puntadewa selaku kakak tertua.
Semula Puntadewa menolak, namun setelah didesak oleh ibu dan keempat adiknya,
akhirnya ia pun bersedia menikahi Drupadi. Dari perkawinan itu lahir seorang
putera bernama Pancawala. Jadi, menurut versi asli, tokoh Dropadi menikah
dengan kelima Pandawa,
sedangkan menurut versi Jawa,
ia hanya menikah dengan Yudistira seorang.
Raja Indraprastha
Setelah
menikahi Dropadi,
para Pandawa
kembali ke Hastinapura dan memperoleh sambutan luar biasa, kecuali
dari pihak Duryodana.
Persaingan antara Pandawa dan Korawa atas tahta Hastinapura kembali terjadi.
Para sesepuh akhirnya sepakat untuk memberi Pandawa sebagian dari wilayah
kerajaan tersebut.
Korawa yang
licik mendapatkan istana Hastinapura, sedangkan Pandawa mendapatkan hutan
Kandawaprastha sebagai tempat untuk membangun istana baru. Meskipun daerah
tersebut sangat gersang dan angker, namun para Pandawa mau menerima wilayah
tersebut. Selain wilayahnya yang seluas hampir setengah wilayah kerajaan
Kuru, Kandawaprastha juga merupakan ibukota kerajaan Kuru yang dulu,
sebelum Hastinapura.
Para Pandawa dibantu sepupu mereka, yaitu Kresna dan Baladewa, dan
berhasil membuka Kandawaprastha menjadi pemukiman baru.
Para Pandawa
kemudian memperoleh bantuan dari Wiswakarma, yaitu ahli bangunan
dari kahyangan, dan juga Anggaraparna dari bangsa Gandharwa.
Maka terciptalah sebuah istana megah dan indah bernama Indraprastha,
yang bermakna "kota Dewa Indra".
Pemerintahan Yudistira versi pewayangan Jawa
Yudistira (kiri) mencakupkan tangan
sambil menghadap Narada
(kanan) yang berdiri di depan Kresna saat penyelenggaraan Upacara Rajasuya di Indraprastha.
Pembangunan kerajaan Amarta
Dalam versi pewayangan Jawa, nama Indraprastha
lebih terkenal dengan sebutan kerajaan
Amarta. Menurut versi ini, hutan yang dibuka para Pandawa bukan
bernama Kandawaprastha, melainkan bernama Wanamarta.
Versi Jawa
mengisahkan, setelah sayembara Dropadi, para Pandawa tidak kembali ke Hastinapura
melainkan menuju kerajaan Wirata, tempat kerabat mereka yang bernama
Prabu Matsyapati
berkuasa. Matsyapati yang bersimpati pada pengalaman Pandawa menyarankan agar
mereka membuka kawasan hutan tak bertuan bernama Wanamarta menjadi sebuah
kerajaan baru. Hutan Wanamarta dihuni oleh berbagai makhluk halus yang dipimpin
oleh lima bersaudara, bernama Yudistira, Danduncana, Suparta, Sapujagad, dan
Sapulebu. Pekerjaan Pandawa dalam membuka hutan tersebut mengalami banyak
rintangan. Akhirnya setelah melalui suatu percakapan, para makhluk halus
merelakan Wanamarta kepada para Pandawa.
Yudistira
kemudian memindahkan istana Amarta dari alam jin ke alam nyata untuk
dihuni para Pandawa.
Setelah itu, ia dan keempat adiknya menghilang. Salah satu versi menyebut
kelimanya masing-masing menyatu ke dalam diri lima Pandawa. Puntadewa kemudian
menjadi Raja Amarta setelah didesak dan dipaksa oleh keempat adiknya. Untuk
mengenang dan menghormati raja jin yang telah memberinya istana, Puntadewa pun
memakai gelar Prabu Yudistira.
Anugerah Ketentraman
Setelah
menjadi Raja Amarta, Puntadewa berusaha keras untuk memakmurkan negaranya.
Konon terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa menikahi puteri Kerajaan
Slagahima yang bernama Dewi Kuntulwinanten, maka negeri tempat ia tinggal akan
menjadi makmur dan sejahtera. Puntadewa sendiri telah memutuskan untuk memiliki
seorang istri saja. Namun karena Dropadi mengizinkannya menikah lagi demi kemakmuran negara,
maka ia pun berangkat menuju Kerajaan Slagahima. Di istana Slagahima telah
berkumpul sekian banyak raja dan pangeran yang datang melamar Kuntulwinanten.
Namun sang puteri hanya sudi menikah dengan seseorang yang berhati suci, dan ia
menemukan kriteria itu dalam diri Puntadewa. Kemudian Kuntulwinanten tiba-tiba
musnah dan menyatu ke dalam diri Puntadewa. Sebenarnya Kuntulwinanten bukan
manusia asli, melainkan wujud penjelmaan anugerah dewata untuk seorang raja
adil yang hanya memikirkan kesejahteraan negaranya. Sedangkan anak raja
Slagahima yang asli bernama Tambakganggeng. Ia kemudian mengabdi kepada
Puntadewa dan diangkat sebagai patih di kerajaan Amarta.
Upacara Rajasuya
Kitab Mahabharata
bagian kedua atau Sabhaparwa mengisahkan niat Yudistira untuk
menyelenggarakan upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan
menyingkirkan raja-raja angkara murka. Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa memimpin
tentara masing-masing ke empat penjuru Bharatawarsha
(India Kuno) untuk mengumpulkan upeti dalam penyelenggaraan upacara agung
tersebut.
Pada saat
yang sama, seorang raja angkara murka juga mengadakan upacara mengorbankan
seratus orang raja. Raja tersebut bernama Jarasanda
dari kerajaan Magadha. Yudistira mengirim Bima dan
Arjuna dengan didampingi Kresna sebagai penasihat untuk menumpas Jarasanda. Akhirnya,
melalui sebuah pertandingan seru, Bima berhasil membunuh Jarasanda.
Setelah
semua persyaratan terpenuhi, Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya yang
dihadiri sekian banyak kaum raja dan pendeta. Dalam kesempatan itu, Yudistira
ditetapkan sebagai Maharajadhiraja. Kemudian muncul seorang sekutu Jarasanda
bernama Sisupala
yang menghina Kresna di depan umum. Setelah melewati penghinaan ke-100, Krishna
akhirnya memenggal kepala Sisupala di depan umum.
Kehilangan kerajaan
Lukisan dari Punjab, dibuat
sekitar abad
ke-18, menggambarkan suasana aula permainan dadu antara Pandawa dan Korawa. Tampak
dalam gambar, Dropadi
yang berusaha ditelanjangi oleh Dursasana. Di sebelah kiri bawah, tampak kelima Pandawa sedang
diam menerima kekalahannya.
Ketika
menjadi tamu dalam acara Rajasuya, Duryodana sangat kagum sekaligus iri menyaksikan keindahan
istana Indraprastha.
Timbul niatnya untuk merebut kerajaan itu, apalagi setelah ia tersinggung oleh
ucapan Dropadi
dalam sebuah pertemuan. Sangkuni membantu niat Duryodhana dengan memanfaatkan
kegemaran Yudistira terhadap permainan dadu. Yudistira memang
seorang ahli agama,
namun di sisi lain ia sangat menyukai permainan tersebut. Undangan Duryodana
diterimanya dengan baik. Permainan dadu antara Pandawa melawan Korawa diadakan di
istana Hastinapura.
Mula-mula Yudistira hanya bertaruh kecil-kecilan. Namun semuanya jatuh ke
tangan Duryodana berkat kepandaian Sakuni dalam melempar dadu.
Hasutan
Sangkuni membuat Yudistira nekad mempertaruhkan semua hartanya, bahkan Indraprastha.
Akhirnya, negeri yang dibangun dengan susah payah itu pun jatuh ke tangan
lawan. Yudistira yang sudah gelap mata juga mempertaruhkan keempat adiknya
secara berurutan. Keempatnya pun jatuh pula ke tangan Duryodana satu per satu,
bahkan akhirnya Yudistira sendiri. Duryodana tetap memaksa Yudistira yang sudah
kehilangan kemerdekaannya untuk melanjutkan permainan, dengan mempertaruhkan Dropadi.
Akibatnya, Dropadi pun ikut bernasib sama.
Ratapan
Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar oleh Gandari, ibu para
Korawa. Ia
memerintahkan agar Duryodana menghentikan permainan dan mengembalikan semuanya
kepada Pandawa.
Dengan berat hati, Duryodhana terpaksa mematuhi perintah ibunya itu. Duryodana
yang kecewa kembali menantang Yudistira beberapa waktu kemudian. Kali ini
peraturannya diganti. Barang siapa yang kalah harus menyerahkan negara beserta
isinya, dan menjalani hidup di hutan selama 12 tahun serta menyamar selama
setahun di dalam sebuah kerajaan. Apabila penyamaran itu terbongkar, maka wajib
mengulangi lagi pembuangan selama 12 tahun dan menyamar setahun, begitulah
seterusnya. Akhirnya berkat kelicikan Sakuni, pihak Pandawa pun mengalami
kekalahan untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu lima Pandawa dan Dropadi
menjalani masa pembuangan mereka di hutan.
Kehidupan dalam Pembuangan
Kehidupan
para Pandawa dan
Dropadi dalam
menjalani masa pembuangan selama 12 tahun di hutan dikisahkan pada jilid ketiga
kitab Mahabharata
yang dikenal dengan sebutan Wanaparwa.
Yudistira
yang merasa paling bertanggung jawab atas apa yang menimpa keluarga dan
negaranya berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani hukuman. Ia sering
berselisih paham dengan Bima yang ingin kembali ke Hastinapura
untuk menumpas para Korawa.
Meskipun demikian, Bima tetap tunduk dan patuh terhadap perintah Yudistira
supaya menjalani hukuman sesuai perjanjian.
Suatu ketika
para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para
Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana
tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru mengirim Bima dan
Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat sendiri apabila
kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil
membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk menyiksa perasaan
para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia rasakan.
Peristiwa
lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata,
adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir
saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu tersebut.
Peristiwa Telaga Beracun & Dharma Prashna
Pada suatu
hari menjelang berakhirnya masa pembuangan, Yudistira dan keempat adiknya
membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena
tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa merasa
haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak kembali, Nakula disuruh
menyusul, kemudian Arjuna,
lalu akhirnya Bima menyusul pula. Yudistira semakin
cemas karena keempat adiknya tidak ada yang kembali.
Yudistira
kemudian berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi
sebuah telaga.
Ada seekor bangau (Baka) yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia
menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka
menolak menjawab pertanyaan darinya. Sambil menahan haus, Yudistira
mempersilakan Sang bangau untuk bertanya. Sang bangau lalu berubah wujud
menjadi Yaksa.
Satu per satu pertanyaan demi pertanyaan berhasil ia jawab. Inilah sebagian
pertanyaan yang diajukan Yaksa pada Yudistira:
Yaksa: Apa
yang lebih berat daripada Bumi, lebih luhur daripada langit, lebih cepat
daripada angin dan lebih berjumlah banyak daripada gundukan jerami?
Yudhishthira:
Sang Ibu lebih berat daripada Bumi, Sang Ayah lebih luhur daripada langit,
Pikiran lebih cepat daripada angin dan kekhawatiran kita lebih berjumlah banyak
daripada gundukan jerami.
Yaksa:
Siapakah kawan dari seorang musafir? Siapakah kawan dari seorang pesakitan dan
seorang sekarat?
Yudhishthira:
Kawan dari seorang musafir adalah pendampingnya. Tabib adalah kawan seorang
yang sakit dan kawan seorang sekarat adalah amal.
Yaksa: Hal
apakah yang jika ditinggalkan membuat seseorang dicintai, bahagia dan kaya?
Yudhishthira:
Keangkuhan, bila ditinggalkan membuat seseorang dicintai. Hasrat, bila
ditinggalkan membuat seseorang kaya dan keserakahan, bila ditinggalkan membuat
seseorang bahagia.
Yaksa: Musuh
apakah yang tidak terlihat? Penyakit apa yang tidak bisa disembuhkan? Manusia
macam apa yang mulia dan hina?
Yudhishthira:
Kemarahan adalah musuh yang tidak terlihat. Ketidakpuasan adalah penyakit yang
tidak bisa disembuhkan. Manusia mulia adalah yang mengharapkan kebaikan untuk
semua makhluk dan Manusia hina adalah yang tidak mengenal pengampunan.
Yaksa:
Siapakah yang benar-benar berbahagia? Apakah keajaiban terbesar? Apa jalannya?
Dan apa beritanya?
Yudhishthira:
Seorang yang tidak punya hutang adalah benar-benar berbahagia. Hari demi hari
tak terhitung orang meninggal. Namun yang masih hidup berharap untuk hidup
selamanya. Ya Tuhan, keajaiban apa yang lebih besar? Perbedaan pendapat membawa
pada kesimpulan yang tidak pasti, Antara Śruti saling
berbeda satu sama lain, bahkan tidak ada seorang Resi yang pemikirannya
bisa diterima oleh semua. Kebenaran Dharma dan tugas, tersembunyi dalam gua-gua
hati kita. Karena itu kesendirian adalah jalan dimana terdapat yang besar dan
kecil. Dunia yang dipenuhi kebodohan ini layaknya sebuah wajan. Matahari adalah
apinya, hari dan malam adalah bahan bakarnya. Bulan-bulan dan musim-musim
merupakan sendok kayunya. Waktu adalah Koki yang memasak semua makhluk dalam
wajan itu (dengan berbagai bantuan seperti itu). Inilah beritanya.
Akhirnya,
Yaksa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup menghidupkan satu orang saja.
Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk dihidupkan kembali. Yaksa heran
karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung. Yudistira menjawab bahwa
dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua
orang istri. Karena Yudistira lahir dari Kunti, maka yang
dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu Nakula.
Yaksa
terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa
Dharma. Kedatangannya
dengan menyamar sebagai rusa liar dan yaksa adalah untuk memberikan ujian
kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira, maka tidak hanya
Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa.
Yudistira dalam masa penyamaran
Setelah 12
tahun menjalani pembuangan di hutan, kelima Pandawa dan Dropadi kemudian
memasuki masa penyamaran selama setahun. Sebagai tempat persembunyian, mereka
memilih Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Wirata. Kisah ini
terdapat dalam kitab Mahabharata jilid keempat atau Wirataparwa.
Yudistira
menyamar dengan nama Kanka di mana ia diterima sebagai kusir kereta Raja Wirata. Bima
menjadi Balawa sebagai tukang masak, Arjuna menjadi Wrihanala sebagai banci
guru tari, Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi
Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Dropadi menjadi Sailandri
sebagai dayang istana.
Pada akhir
tahun penyamaran Pandawa, terjadi peristiwa serangan kerajaan
Kuru terhadap kekuasaan Wirata. Seluruh kekuatan kerajaan
Matsya dikerahkan menghadapi tentara kerajaan Trigartha,
sekutu Duryodhana.
Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong dan dalam keadaan terancam oleh
serangan pasukan Hastinapura. Utara putera Wirata yang
ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Wrihanala (Arjuna) sebagai
kusir. Di medan perang Wrihanala membuka samaran dan tampil menghadapi pasukan
Duryodana sebagai Arjuna. Seorang diri ia berhasil memukul mundur pasukan dari
Hastinapura tersebut. Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan
atas pasukan Trigartha. Wirata dengan bangga memuji-muji kehebatan Utara yang
berhasil mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias Yudistira menjelaskan bahwa
kunci kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat Wirata tersinggung dan
memukul kepala Kanka sampai berdarah.
Dalam versi
pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang. Sedangkan
rajanya bernama Matsyapati. Dalam kerajaan
tersebut, Yudistira atau Puntadewa menyamar sebagai pengelola pasar ibu kota
bernama Dwijakangka.
Saat batas
waktu penyamaran telah genap setahun, kelima Pandawa dan Dropadi pun
membuka penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa
sangat menyesal telah memperlakukan mereka dengan buruk. Ia pun berjanji akan
menjadi sekutu Pandawa dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha.
Yudistira saat Bharatayuddha
Ketika para Pandawa pulang ke
Hastinapura
demi menuntut hak yang seharusnya mereka terima, Duryodana
bersikap sinis terhadap mereka. Ia tidak mau menyerahkan Hastinapura
kepada Yudistira. Berbagai usaha damai dilancarkan pihak Pandawa namun selalu
ditolak oleh Duryodana.
Bahkan, Duryodana tetap menolak ketika Yudistira hanya meminta lima buah desa
saja, bukan seluruh Indraprastha. Pada puncaknya, Duryodana berusaha membunuh
duta Pandawa, yaitu Kresna,
namun gagal.
Perang di Kurukshetra antara Pandawa dan
Korawa tidak dapat lagi dihindari. Para pujangga Jawa menyebut peristiwa itu
dengan nama Bharatayuddha. Sementara itu dalam Mahabharata
kisah perang besar tersebut ditemukan pada jilid keenam sampai kesepuluh.
Awal pertempuran
Pada bagian Bhismaparwa
dikisahkan bahwa sebelum perang hari pertama dimulai, Yudistira turun dari
keretanya berjalan kaki ke arah pasukan Korawa yang berbaris di hadapannya.
Duryodana mengejeknya sebagai pengecut yang langsung menyerah begitu melihat
kekuatan Korawa dan sekutu mereka. Namun, kedatangan Yudistira bukan untuk
menyerah, melainkan meminta doa restu kepada empat sesepuh yang berperang di
pihak lawan. Mereka adalah Bisma, Krepa, Drona, dan Salya. Keempatnya mendoakan semoga pihak Pandawa menang. Hal
itu tentu saja membuat Duryodana sakit hati.
Yudistira
kembali ke pasukannya. Ia mempersilakan siapa saja yang ingin pindah pasukan
sebelum perang benar-benar dimulai. Ternyata yang pindah justru adik tiri
Duryodhana yang lahir dari selir, bernama Yuyutsu, yang
bergerak meninggalkan Korawa untuk bergabung bersama Pandawa.
Pertempuran melawan Drona
Bisma memimpin
pasukan Korawa
selama sepuluh hari. Setelah ia tumbang, kedudukannya digantikan oleh Drona, yang mendapat
amanat dari Duryodana
supaya menangkap Yudistira hidup-hidup. Drona senang atas tugas tersebut,
padahal niat Duryodana adalah menjadikan Yudistira sebagai sandera untuk
memaksa para pendukungnya menyerah. Berbagai cara dilancarkan Drona untuk
menangkap Yudistira. Tidak terhitung banyaknya sekutu Pandawa yang tewas di
tangan Drona karena melindungi Yudistira, misalnya Drupada dan Wirata.
Akhirnya
pada hari ke-15, penasihat Pandawa, yaitu Kresna menemukan
cara untuk mengalahkan Drona, yaitu dengan mengumumkan berita kematian seekor
gajah bernama Aswatama.
Aswatama juga merupakan nama putera tunggal Drona. Kemiripan nama tersebut
dimanfaatkan oleh Kresna untuk menipu Drona. Atas perintah Kresna, Bima segera membunuh gajah itu dan
berteriak mengumumkan kematiannya. Drona cemas mendengar berita kematian
Aswatama. Ia segera mendatangi Yudistira yang dianggapnya sebagai manusia
paling jujur untuk bertanya tentang kebenaran berita tersebut. Yudistira
terpaksa bersikap tidak jujur. Ia membenarkan berita kematian Aswatama tanpa
berusaha menjelaskan bahwa yang mati adalah gajah, bukan putera Drona.
Jawaban
Yudistira itu membuat Drona jatuh lemas. Ia membuang semua senjatanya dan duduk
bermeditasi.
Tiba-tiba saja Drestadyumna putera Drupada
mendatanginya dan kemudian memenggal kepalanya dari belakang. Drona pun tewas
seketika. Dalam peristiwa ini yang paling merasa bersalah adalah Yudistira.
Pertempuran melawan Salya
Salya adalah kakak
ipar Pandu yang
terpaksa membantu Korawa
karena tipu daya mereka. Pada hari ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana.
Akhirnya ia pun tewas terkena tombak Yudistira.
Naskah Bharatayuddha
berbahasa Jawa
Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai senjata bernama Rudrarohastra, sedangkan
Yudistira memakai senjata bernama Kalimahosaddha.
Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tiba-tiba berubah
menjadi tombak menembus dada Salya.
Sementara
itu menurut versi pewayangan
Jawa, Salya
mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil
mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju
mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah
dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu
pemilik asli ilmu tersebut. Selanjutnya, Puntadewa melepaskan Jamus
Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya. Salya pun tewas seketika.
Tantangan bagi Duryodana
Setelah
kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa
didampingi Kresna
berhasil menemukan tempat itu. Duryodana pun naik ke darat siap menghadapi
kelima Pandawa sekaligus. Yudistira menolak tantangan Duryodhana karena Pandawa
pantang berbuat pengecut dengan cara main keroyok, sebagaimana para Korawa ketika
membunuh Abimanyu
pada hari ke-13. Sebaliknya, Duryodana dipersilakan bertarung satu lawan satu
melawan salah seorang di antara lima Pandawa. Apabila ia kalah, maka kerajaan
harus dikembalikan kepada Pandawa. Sebaliknya apabila ia menang, Yudistira
bersedia kembali hidup di hutan.
Bima terkejut mendengar keputusan
Yudistira yang seolah-olah memberi kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi,
padahal kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira
justru menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri. Duryodana meskipun
bersifat angkara murka namun ia juga seorang pemberani. Ia memilih Bima sebagai
lawan perang tanding, yang paling gagah di antara kelima Pandawa. Setelah
pertarungan sengit terjadi cukup lama, akhirnya menjelang senja Duryodana
berhasil dikalahkan dengan dipukul titik kelemahannya, yaitu paha. Ini
sekaligus menuntaskan sumpah Bima yang akan membunuh Duryodana karena
penghinaannya terhadap Dropadi. Balarama marah dan bertekad untuk membunuh Bima
karena paha merupakan sasaran yang terlarang dalam duel gada, namun
diperingatkan oleh Kresna bahwa Bima hanya berusaha menjalankan sumpahnya.
Duryodana pun tewas secara perlahan setelah saling bersilat lidah dengan
Kresna.
Maharaja dunia
Setelah
perang berakhir, Yudistira melaksanakan upacara Tarpana untuk memuliakan mereka
yang telah tewas. Ia kemudian diangkat sebagai raja Hastinapura
sekaligus raja Indraprastha. Yudistira dengan sabar menerima Dretarastra
sebagai raja sepuh di kota Hastinapura. Ia melarang adik-adiknya
bersikap kasar dan menyinggung perasaan ayah para Korawa tersebut,
namun Bima selalu saja menyinggung Dretarastra
akan perbuatan anak-anaknya sehingga sang raja sepuh pun lengser dari tahta
Hastinapura.
Yudistira
kemudian menyelenggarakan Aswamedha Yadnya, yaitu suatu
upacara pengorbanan untuk menegakkan kembali aturan dharma di seluruh
dunia. Pada upacara ini, seekor kuda dilepas untuk mengembara selama setahun. Arjuna ditugasi
memimpin pasukan untuk mengikuti dan mengawal kuda tersebut. Para raja yang
wilayah negaranya dilalui oleh kuda tersebut harus memilih untuk mengikuti
aturan Yudistira atau diperangi. Arjuna mengirim pasukan ke daerah utara, Bima
ke timur, Nakula ke barat & Sahadewa ke selatan.
Akhirnya
setelah beberapa pertempuran, semua kerajaan memilih membayar upeti. Sekali
lagi Yudistira pun dinobatkan sebagai Maharaja Dunia setelah Upacara Rajasuya
dahulu.
Lengser lalu naik ke sorga
Lukisan Yudistira yang sedang
mendaki gunung Himalaya
sebagai perjalanan terakhirnya.
Setelah
permulaan zaman Kaliyuga
dan wafatnya Kresna,
Yudistira dan keempat adiknya mengundurkan diri dari urusan duniawi. Mereka
meninggalkan tahta kerajaan, harta, dan sifat keterikatan untuk melakukan
perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha
lalu menuju puncak Himalaya. Di kaki gunung Himalaya, Yudistira menemukan anjing
dan kemudian hewan tersebut menjdi pendamping perjalanan Pandawa yang setia.
Saat mendaki puncak, satu per satu mulai dari Dropadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima meninggal dunia. Masing-masing
terseret oleh kesalahan dan dosa yang pernah mereka perbuat. Hanya Yudistira
dan anjingnya yang berhasil mencapai puncak gunung, karena kesucian hatinya.
Dewa
Indra, pemimpin
masyarakat kahyangan, datang menjemput Yudistira untuk diajak naik ke swarga dengan kereta kencananya.
Namun, Indra menolak anjing yang dibawa Yudistira dengan alasan bahwa hewan
tersebut tidak suci dan tidak layak untuk masuk swarga. Yudistira menolak masuk
swargaloka apabila harus berpisah dengan anjingnya. Indra merasa heran karena
Yudistira tega meninggalkan saudara-saudaranya dan Dropadi tanpa mengadakan
upacara pembakaran jenazah bagi mereka, namun lebih memilih untuk tidak mau
meninggalkan seekor anjing. Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya yang
meninggalkan mereka, tapi merekalah yang meninggalkan dirinya.
Kesetiaan
Yudistira telah teruji. Anjingnya pun kembali ke wujud asli yaitu Dewa Dharma, Ayahnya.
Bersama-sama mereka naik ke sorga menggunakan kereta Indra. Namun ternyata
keempat Pandawa tidak ditemukan di sana. Yang ada justru Duryodana dan
adik-adiknya yang selama hidup mengumbar angkara murka. Indra menjelaskan bahwa
keempat Pandawa dan para pahlawan lainnya sedang menjalani penyiksaan di neraka. Yudistira
menyatakan siap masuk neraka menemani mereka. Namun, ketika terpampang
pemandangan neraka yang disertai suara menyayat hati dan dihiasi darah kental
membuatnya ngeri. Saat tergoda untuk kabur dari neraka, Yudistira berhasil
menguasai diri. Terdengar suara saudara-saudaranya memanggil-manggil. Yudistira
memutuskan untuk tinggal di neraka. Ia merasa lebih baik hidup tersiksa bersama
sudara-saudaranya yang baik hati daripada bergembira di sorga namun ditemani
oleh kerabat yang jahat. Tiba-tiba pemandangan berubah menjadi indah. Dewa
Indra muncul dan berkata bahwa sekali lagi Yudistira lulus ujian, karena
waktunya yang sebentar di Neraka adalah sebagai penebus dosa ketidakjujuran
Yudistira terhadap Drona soal kematian Aswatama. Ia menyatakan bahwa sejak saat
itu, Pandawa Lima dan para pahlawan lainnya dinyatakan sebagai penghuni Surga,
sementara para korawa akan menjalani siksaan yang kekal di neraka.
Menurut
versi pewayangan Jawa, kematian para Pandawa terjadi
bersamaan dengan Kresna
ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini
kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih
suka mementaskan versi Mahabharata yang penuh dramatisasi sebagaimana
dikisahkan di atas.
Yudistira
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas